Manado, MEDIAALTERNATIF.ID – Bank SulutGo (BSG) angkat bicara terkait laporan dugaan penyimpangan dana Corporate Social Responsibility (CSR) senilai Rp.40 miliar yang dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Utara (Sulut).
Laporan ini diajukan oleh Kristianto Naftali Poae, mantan Notaris BSG.
Tak hanya menyangkut dana CSR, laporan itu juga menyeret isu pemotongan klaim kesehatan pegawai, kebocoran data nasabah, hingga tudingan suap terhadap insan pers. Kristianto juga menambahkan dalam laporannya klaim pembayaran jasa notaris senilai Rp1,7 miliar yang belum dibayarkan sejak 2018.
Rentetan tuduhan ini menciptakan citra negatif terhadap institusi Bank Daerah yang selama ini menjadi pilar pembangunan di Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Di tengah isu yang beredar, BSG menegaskan bahwa berbagai tudingan tersebut tidak berdasar dan belum terverifikasi secara hukum.
Pihak BSG dalam pernyataan resminya menyatakan tetap menghormati proses hukum yang sedang berlangsung dan akan bersikap terbuka terhadap penyelidikan.
“Kami siap memberi keterangan dan membuka data yang dibutuhkan penyidik. Tapi kami juga berharap publik bisa menilai secara objektif, tidak terjebak pada opini yang belum diuji,” tulis BSG melalui keterangan resmi.
Diketahui, Kristianto, pelapor dalam kasus ini, sebelumnya merupakan mitra kerja BSG, yakni seorang notaris yang pernah terlibat dalam urusan legal bank.
Fakta lainnya, istri dan kakak iparnya merupakan karyawan aktif BSG. Tak hanya itu, dirinya juga tercatat sebagai nasabah yang memiliki riwayat kredit bermasalah di BSG.
Latar belakang inilah yang memicu pernyataan publik, apakah laporan yang dibuat murni perjuangan antikorupsi, atau semata-mata kepentingan pribadi?
Pengamat kepentingan publik, Jeffrey Sorongan, menilai kasus ini perlu dilihat dari dua sisi. Ia menegaskan bahwa masyarakat memang berhak mengawasi potensi penyimpangan dana publik, tapi tidak boleh menelan mentah-mentah informasi dari satu pihak saja, apalagi jika data yang digunakan belum melalui verifikasi.
“Sangat mungkin ini adalah bentuk tekanan pribadi yang dibungkus semangat antikorupsi. Apalagi jika dikaitkan dengan piutang notaris yang belum dibayar, yang sejatinya ranah perdata, bukan pidana,” tegas Jeffrey.
Ia juga mengingatkan media agar tidak menjadi saluran framing sepihak yang bisa merugikan nama baik institusi.
“Media harus berhati-hati. Jangan sampai tanpa sadar menjadi alat framing satu pihak, lalu menyudutkan institusi publik hanya karena konflik pribadi,” imbuhnya.
Mengenai hal ini, Manajemen BSG menegaskan bahwa mereka akan kooperatif dan terbuka terhadap setiap permintaan informasi yang sah. Tetapi di sisi lain, BSG juga mengingatkan bahwa proses hukum tidak boleh dikaburkan oleh opini publik yang dibangun sepihak, apalagi jika digunakan sebagai alat tekanan dalam konflik pribadi.
“Kami percaya proses hukum yang objektif. Tapi kami juga menolak cara-cara penggiringan opini yang belum berdasar fakta,” tegas BSG dalam keterangan resmi.
Manajemen BSG menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa mereka akan terus menjalankan tugas sebagai bank pembangunan daerah dengan profesional, sambil menghormati penuh jalannya proses hukum.
“Semangat antikorupsi adalah hal mulia yang harus dijaga. Tapi kebenaran harus diuji dengan fakta, bukan dengan framing atau opini yang belum tentu benar,” tutupnya.
(mp/tw)