Fisip Unsrat Kolaborasi dengan JPPR, Ini Pandangan Rendy Umboh terkait Rekonstruksi Demokrasi Melalui Revisi UU Pemilu

Manado, MEDIAALTERNATIF.ID – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) menggelar seminar nasional, di Aula lantai 3 Fisip Unsrat, Jumat (14/3/2025).

Kegiatan kolaborasi Pusat Studi Kepemiluan Fisip Unsrat dengan Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) yang mengangkat tema Rekonstruksi Demokrasi Melalui Revisi Undang-undang Pemilu dibuka langsung Dekan Fisip Dr. Ferry Daud Liando, S.IP M.Si.

Kordinator Nasional (Kornas) JPPR Rendy NS Umboh dihadapan ratusan mahasiswa dan akademisi menekankan beberapa substansi untuk menyikapi rencana perubahan UU Pemilu guna penguatan demokrasi, antara lain :

Keserentakan Pemilu

Dalam konteks keserentakan, jika ingin memisahkan dengan jeda dua tahun, maka hanya Pilkada yang perlu dipisahkan. Pilkada dapat dilaksanakan pada tahun 2030 atau 2031. Sedangkan, pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota tetap dilaksanakan pada tahun 2029. Desain keserentakan lokal dan nasional yang berlaku saat ini tetap konstitusional. Jika pemilihan diselenggarakan secara serentak, baik lokal maupun nasional, maka akan dilakukan pada tahun yang sama.

Ambang Batas

Parlementary Threshold

Mahkamah Konstitusi (MK) menekankan pentingnya proporsionalitas dalam sistem pemilu untuk mencegah suara yang tidak terkonversi menjadi kursi DPR. Namun, ada kebingungan dalam putusannya mengenai Ambang Batas Parlemen yang terlihat paradoksal.

Menurunkan ambang batas dari 4% ke angka yang lebih rendah tidak menjamin perlindungan terhadap suara pemilih. Sebaliknya, setiap suara dan kursi memiliki makna tersendiri, sehingga argumen tentang ‘suara terbuang’ menjadi kurang relevan.

Sebaliknya, menaikkan Ambang Batas Parlemen dapat menyederhanakan partai politik secara jelas dan terukur, misalnya di rentang 5-7%. Pilihan yang ada adalah menaikkan ambang batas atau menghapuskan sama sekali.

Pemilu Langsung Tidak Langsung

Pilkada yang dilakukan melalui DPRD akan berujung pada kontestasi elit yang berpotensi besar membuka ruang transaksi politik antar elit, sehingga dapat mengakibatkan mundurnya demokrasi (backsliding democracy). Persoalan utama bukanlah pada perubahan sistem, melainkan bagaimana upaya melawan politik uang (money politic), memperketat aturannya, dan memperkuat posisi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Oleh karena itu, komparasi antara biaya politik pilkada langsung dan pilkada yang dilakukan oleh DPRD menjadi tidak berimbang.

Mekanisme demokrasi langsung dalam pemilihan kepala daerah merupakan amanat reformasi yang linier dengan pemilihan presiden 2004 dan Pilkada pertama pasca reformasi pada Tahun 2005. sehingga secara historis makna frasa demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ialah pemilihan langsung oleh rakyat, bukan pemilihan melalui DPRD yang terkesan demokrasi sub kontrak.

(*/toar)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *